Perkawinan menurut UU Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa, sedangkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah karena Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
Meskipun telah diatur sedemikian rupa, namun sampai saat ini masih saja terdapat fenomena nikah siri dengan berbagai alasan. Nikah Siri adalah, pernikahan yang dilakukan oleh sepasang kekasih tanpa ada pemberitahuan (dicatatkan) di Kantor Urusan Agama (KUA), tetapi pernikahan ini sudah memenuhi unsur-unsur pernikahan dalam Islam, yang meliputi dua mempelai, dua orang saksi, wali, ijab-kabul dan juga mas kawin. Nikah Siri ini hukumnya sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut hukum positif (hukum negara). Oleh karena itu, pernikahan siri yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama itu tidak punya kekuatan hukum, sehingga jika suatu saat mereka berdua punya permasalahan yang berkenaan dengan rumah tangganya akan sulit untuk dilakukan penyelesaiannya.
DAMPAK NIKAH SIRI
1. STATUS ANAK HASIL NIKAH SIRI
Berdsarkan pasal 42 dan 43 UU Perkawinan juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010, anak yang sah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (menurut hukum negara) sehingga Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya dan anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
2. KEPENTINGAN TERKAIT DOKUMEN KEPENDUDUKAN
Sebagai anak yang dianggap lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tua-nya, tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja, di dalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya.
3. TIDAK ADA KEKUATAN HUKUM BAGI ISTRI DAN ANAK DALAM HARTA WARIS.
Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 KUHP, anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang DIAKUI oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya. Sementara itu, anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh pewaris yaitu ayahnya maka hanya memiliki hubungan keperdataand engan ibunya.
- Sumber :
- UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
- UU No.16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
- Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 17 Februari 2012;
- https://pa-soreang.go.id/images/pdfs/Artikel/Nikah%20Siri%20Apa%20Sih%20Hukumnya.pdf;
- https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-repotnya-dampak-hukum-nikah-siri-lt59e0abe53bd5e/;
- https://www.hukumonline.com/berita/a/anak-hasil-perkawinan-siri-berhak-menjadi-ahli-waris-ini-penjelasan-hukumnya-lt62bd734d43fd1/?page=2.