PERLINDUNGAN PEREMPUAN PADA SAAT BERHADAPAN DENGAN HUKUM

  • Selasa, 31 Januari 2023 - 10:54:49 WIB
  • Administrator

Interaksi sosial masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari terkadang menimbulkan suatu gesekan yang menimbulkan permasalahan antar individu. Tidak jarang bahwa permasalahan yang terjadi merupakan suatu tindak pidana, meskipun pada saat terjadinya permasalahan terkadang pelaku tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukan merupakan suatu tindak pidana. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu tindak pidana diantaranya faktor ekonomi, sosial kultural, lingkungan, Pendidikan, faktor dari individu itu sendiri maupun dari faktor perkembangan global.

 

Perempuan merupakan suatu subjek hukum yang seringkali menjadi korban tindak pidana, khususnya pada kejahatan seksual. Terkadang perempuan berada dalam kondisi yang tidak memungkinan untuk melakukan pembelaan diri, sehingga pada kondisi tersebut perempuan yang menjadi korban membutuhkan bantuan dari pihak lain. Perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual tentunya akan menempuh jalur hukum untuk mendapatkan keadilan untuk dirinya. Hal ini tentunya mengharuskan korban memberikan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan kejahatan seksual yang ia alami. Dalam hal ini, terkadang kejahatan seksual yang dialami merupakan sesuatu yang memalukan sehingga korban merasa malu untuk menceritakan fakta-fakta hukum yang ada.

 

Agar perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tidak merasa tertekan atau terintimidasi karena harus menceritakan ulang kejadian yang ia alami, maka para penegak hukum haruslah berpegang pada Undang-undang nomro 13 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa hak-hak saksi dan korban meliputi :

  1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
  2. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
  3. memberikan keterangan tanpa tekanan;
  4. mendapat penerjemah;
  5. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
  6. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
  7. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
  8. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
  9. dirahasiakan identitasnya;
  10. mendapat identitas baru;
  11. mendapat tempat kediaman sementara;
  12. mendapat tempat kediaman baru;
  13. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
  14. mendapat nasihat hukum;
  15. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau
  16. mendapat pendampingan.

 

Namun perlu diperhatikan bahwa hak-hak tersebut diberikan kepada saksi atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Selain kepada saksi dan/atau korban, hak-hak tersebut juga dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana. Hak Dan Perlindungan sebagaimana dimaksud diatas bertujuan agar ia diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya.

 

Disamping uu nomor 13 tahu  2016, juga terdapat aturan lain yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan Dengan Hukum. Pasal 1 angka 1 PERMA 3/2017 mengartikan perempuan yang berhadapan dengan hukum sebagai perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak. Tujuan dari adanya pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum adalah agar hakim:

  1. memahami dan menerapkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum;
  2. mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan; dan
  3. menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan.

 

Pasal 5 PERMA 3/2017 menegaskan bahwa dalam pemeriksaan perempuan berhadapan dengan hukum, hakim tidak boleh:

  1. menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan berhadapan dengan hukum;
  2. membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender;
  3. mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku; dan
  4. mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.

 

Selain itu, PERMA 3/2017 juga mengamanatkan agar selama jalannya pemeriksaan persidangan, hakim mencegah dan/atau menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum dan/atau kuasa hukum yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi dan/atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas perempuan berhadapan dengan hukum.

 

Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut dalam PERMA 3/2017, perlindungan untuk perempuan dalam proses perkara di pengadilan baik secara fisik maupun psikis menjadi lebih terjamin, dan bentuk ancaman terhadap perempuan hingga yang berbentuk verbal sekalipun dapat dihindari.