Mendisiplinkan Anak dengan Hukuman dan Kekerasan, Efektif Kah?

  • Jumat, 30 April 2021 - 12:50:28 WIB
  • Administrator

Mendisiplinkan Anak dengan Hukuman dan Kekerasan, Efektif Kah?

Oleh: Aghnis Fauziah, S.Psi, M.Psi, Psikolog

Sumber: https://www.shutterstock.com

Setiap orangtua yang mengasuh anak pasti pernah frustasi ketika menghadapi perilaku buruk anak. Salah satu reaksi yang sering  dilakukan oleh orangtua adalah dengan menghukum anak secara fisik, dengan memukul, menampar, atau mencubit anak.

Hukuman didefinisikan sebagai tindakan dengan niat menyakiti, baik secara fisik maupun psikologis, untuk memberikan pelajaran. Namun hukuman sebenarnya cenderung kontraproduktif dalam membangun hubungan yang saling menghormati dengan anak-anak, mengajari anak, dan mendorong perkembangan yang optimal.

  1. Hukuman tidak efektif untuk mengajari anak perilaku yang lebih baik. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang dihukum malah akan melakukan lebih banyak perilaku negatif. Selain itu, mereka juga akan berperilaku semakin negatif dari waktu ke waktu.
  2. Hukuman membuat anak merasa yakin bahwa dirinya buruk. Banyak penelitian membuktikan bahwa anak akan berperilaku seperti ekspektasi orangtua, sehingga anak yang mengira dirinya buruk akan bertindak buruk.
  3. Selain itu, hukuman sebenarnya membuat anak tidak bertanggung jawab terhadap perilakunya karena ia membentuk lokus kontrol eksternal, yaitu didasarkan pada orangtua atau figur otoritas. Ketika seorang anak dihukum, ia akan mulai melihat dirinya tidak mampu berperilaku baik. Ia merasa bahwa berperilaku baik bukan tugasnya, tetapi tugas figur otoritas untuk “membuatnya”.
  4. Hukuman membuat perhatian anak bergeser dari perilakunya sendiri dan cara mengubahnya, ke respon orangtua/pengasuh terhadap perilku tersebut. Artinya, anak tidak lagi mempertimbangkan tindakannya sama sekali. Sebaliknya, anak hanya berpikir mengenai betapa jahatnya orangtuanya karena menyakitinya, atau betapa menakutkannya orangtuanya. Maka respon orangtua malah tidak dapat mencapai tujuan utama disiplin, yaitu mengubah perilaku dan membangun otak anak, karena anak tidak mendapatkan kesempatan untuk memikirkan perilakunya sendiri dan bahkan tidak memiliki perasaan bersalah atau penyesalan yang sehat.
  5. Hukuman mengajarkan anak untuk fokus pada apakah perilaku negatif mereka akan ketahuan dan dihukum, daripada dampak negatif dari perilaku mereka. Hal ini sebenarnya menghambat perkembangan moral, seperti yang disebutkan oleh Alfie Kohn, hukuman mengarahkan anak untuk fokus pada konsekuensi dari perilakunya untuk dirinya sendiri daripada dampaknya terhadap orang lain. Hukuman yang semakin menyakitkan akan membuat anak semakin dalam mendapatkan pelajaran negatif, dan semakin buruk perilakunya.
  6. Manusia secara naluri menjauhi rasa sakit. Otak yang memproses ini juga merupakan otak yang memproses penolakan sosial. Menimbulkan rasa sakit secara fisik menciptakan penolakan sosial di otak anak. Ketika anak melakukan kesalahan, anak otomatis memilih untuk menyembunyikan apa yang telah mereka lakukan. Anak bisa melakukan apa pun untuk menghindari rasa sakit akibat hukuman fisik dan penolakan sosial, sehingga perilaku yang muncul adalah berbohong dan bersembunyi, bukan berkomunikasi secara kolaboratif dan terbuka untuk belajar.
  7. Hukuman juga membuat anak marah karena orangtua sengaja menyakitinya. Sehingga ia akan menolak untuk berperilaku yang baik baginya seperti yang diharapkan orangtua. Anak menjadi pemberontak, marah, lebih agresif, dan lebih mungkin bertindak buruk.
  8. Hukuman fisik berpengaruh pada anak secara fisiologis dan neurologis. Otak mengartikan rasa sakit sebagai ancaman. Sehingga, ketika orangtua memberikan rasa sakit pada anak, anak akan menghadapi paradoks biologis yang membingungkan. Pada satu sisi, kita semua terlahir dengan naluri untuk mencari pengasuh untuk mendapatkan perlindungan saat kita terluka atau takut. Tapi saat pengasuh yang menjadi sumber rasa sakit dan rasa takut, ketika orangtua menyebarkan terror dalam diri anak dengan apa yang ia lakukan, hal tersebut membingungkan otak anak. Satu sirkuit mendorong anak untuk mencoba melarikan diri dari orangtua yang menimbulkan rasa sakit, tapi sirkuit yang lain mendorong anak mencari perlindungan. Jadi ketika orangtua menjadi sumber ketakutan atau rasa sakit, otak bisa berfungsi tidak teratur karena tidak menemukan pemecahan masalah. Pada keadaan ekstrim, hal Ini membuat anak memiliki kelekatan disorganisasi. Hormon stress kortisol dilepaskan dalam keadaan yang tidak teratur, perasaan marah dan takut berulang kali dapat menyebabkan dampak negatif jangka panjang pada perkembangan otak anak. Hormon kortisol beracun bagi otak dan menghambat pertumbuhan yang sehat. Hukuman dapat menyebabkan perubahan signifikan pada otak, seperti matinya sambungan otak dan bahkan sel-sel otak.
  9. Saat kita terancam atau diserang secara fisik, maka otak reptil atau primitif aktif dan mengambil alih. Kita masuk ke dalam mode bertahan hidup, yaitu “melarikan diri, melawan, atau membeku”. Pingsan juga merupakan salah satu respon yang muncul pada beberapa orang saat merasa benar-benar tidak berdaya. Ketika kita menyebabkan anak-anak mengalami ketakutan, rasa sakit, dan kemarahan, kita mengaktifkan peningkatan aliran energi dan informasi ke otak primitif, bukannya mengarahkan pada wilayah otak untuk berpikir reseptif, otak yang berpotensi membuat anak dapat dengan bijak membuat pilihan yang sehat dan fleksibel serta menangani emosi mereka dengan baik. Saat mengaktifkan otak primitif, maka kita kehilangan kesempatan untuk mengembangkan bagian otak yang berpikir. Kita kehilangan kesempatan berharga mengembangkan otak “atas”, kehilangan kesempatan untuk membuat anak lebih mampu menjadi orang yang bertanggung jawab.
  10. Hukuman fisik mengajarkan kepada anak bahwa orangtua tidak memiliki cara yang efektif untuk menyelesaikan masalah selain dengan agresi/kekerasan. Artinya orangtua sedang memberikan contoh pada anak bahwa cara menyelesaikan konflik adalah dengan agresi/kekerasan, terutama pada orang yang tidak berdaya atau tidak bisa melawan.

 

Sumber: https://www.shutterstock.com

 

Banyak juga pendekatan disiplin tanpa hukuman fisik yang juga sama merusaknya dengan memukul. Mengisolasi anak-anak untuk jangka waktu yang lama, mempermalukan mereka, menakut-nakuti mereka dengan meneriakkan ancaman, dan menggunakan kekerasan verbal atau psikologis juga merupakan bentuk disiplin yang dapat melukai dan berdampak buruk pada anak, meskipun orangtua tidak memberikan hukuman secara fisik.

Menjadi orangtua yang permisif atau membiarkan anak melakukan apapun yang mereka inginkan juga tidak dianjurkan. Anak perlu bimbingan dan arahan dari orangtua. Ketika orangtua tidak memberikan bimbingan, anak akan merasa tidak aman, dan  anak mencoba mendorong batasan. Itulah mengapa anak sering berperilaku untuk mencari batas. Tetapi ketika menetapkan batas, orangtua perlu melakukannya dengan baik dan penuh kasih dengan anak bukan dengan paksaan maupun hukuman. Orantua dapat membimbing perilaku dengan cara yang membuat anak kita akan menerima standar tersebut sebagai standar miliknya. Momen pembelajaran hanya akan efektif jika murid siap untuk belajar.

Kata disiplin berasal dari bahasa Latin “disciplina”, yang artinya mengajari, belajar, dan memberikan arahan. Namun, umumnya disiplin diasosiasikan hanya sebagai hukuman atau konsekuensi. Namun, sebenarnya kapanpun kita mendisiplinkan anak kita, tujuan kita bukan untuk menghukum atau memberi konsekuensi, tetapi untuk mengajari.

Sedangkan akar kata disiplin dalam bahasa Inggris adalah disciple, yang artinya murid dan pembelajar, yaitu orang yang mendapatkan disiplin, bukan narapidana atau penerima hukuman, tetapi seseorang yang belajar melalui arahan. Hukuman mungkin dapat menghilangkan perilaku negatif dalam jangka pendek, tetapi disiplin berbasis pengajaran akan menawarkan keterampilan yang bertahan selama hidup anak.

 Disiplin sebenarnya merupakan salah satu hal paling penuh kasih dalam pengasuhan yang dapat diberikan orangtua pada anaknya. Dalam disiplin, orangtua mengajari anak mengelola dorongan, perasaan marah yang besar, dan mempertimbangkan dampak perilaku mereka terhadap orang lain. Sehingga anak mampu mengendalikan diri, menghormati orang lain, berpartisipasi dalam hubungan dengan orang lain, dan hidup dengan tuntunan moral. Oleh karena itu, penting untuk membedakan disiplin dengan hukuman atau kontrol. Disiplin adalah tentang pengajaran dan pengembangan keterampilan, dengan cara yang penuh kasih, rasa hormat, dan koneksi emosional antara orangtua dan anak.

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur membuka Desk Counseling atau layanan psikologi untuk memberikan konseling, psikoedukasi, dan juga psikoterapi untuk anak-anak dan perempuan korban kekerasan, serta anak dan remaja yang memiliki gangguan emosi maupun perilaku. Layanan ini bersifat gratis dan tidak dipungut biaya apapun. Anda juga bisa melakukan konseling secara online dengan menghubungi hotline yang tertera berikut ini.

 

Referensi:

Markham, L. (2012). Peaceful parent, happy kids: how to stop yelling and start connecting. New York: Penguin Group, Inc.

Siegel, D.J. & Bryson, T.P. (2014).No-drama discipline: the whole-brain way to calm the chaos and nurture your child’s developing mind.New York: Batam Books.