Perempuan dan Anak dalam Lingkar Kekerasan

  • Senin, 29 Maret 2021 - 14:35:41 WIB
  • Administrator

Perempuan dan Anak dalam Lingkar Kekerasan

oleh Ajeng Harlika Puspitasari, M.Psi., Psikolog

 

Kekerasan dapat terjadi kepada siapa saja di berbagai lingkungan, laki – laki maupun perempuan, dewasa maupun anak – anak, dalam lingkup hubungan sedarah maupun hubungan yang tak lekat, dalam lingkungan pekerjaan maupun perkawinan. Topik mengenai kekerasan bukanlah suatu hal yang asing dan beredar di sekitar kita. Korban kekerasan didominasi oleh perempuan dan anak, yang trend angka nya semakin meningkat dari hari ke hari. Satu diantara tiga orang perempuan  dan anak – anak pernah menjadi korban kekerasan fisik maupun seksual (Guedes, Bott, Moreno, & Colombini, 2016). Lemah dan tidak berdaya merupakan stigma yang melekat kuat pada diri perempuan dan anak – anak, sedangkan pelaku kekerasan identik dengan sosok yang lebih dominan dan berdaya. Stigma yang melekat, menempatkan perempuan dan anak pada posisi rentan menjadi korban kekerasan, baik dalam lingkungan rumah tangga, maupun pada situasi – situasi yang lebih umum.

Kekerasan sendiri dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan baik secara fisik, psikologis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Angka kejadian kekerasan pada perempuan dan anak semakin meningkat setiap tahunnya. Lebih dari 1700 kejadian kekerasan terjadi pada perempuan dan lebih dari 1100 kekerasan terjadi pada anak di tahun 2020. Kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan dengan jumlah korban tertinggi, baik pada perempuan maupun anak – anak. Sedangkan rumah tangga menjadi lingkungan yang paling sering menjadi tempat terjadinya kekerasan.

Kekerasan terjadi di pengaruhi oleh beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain, diantaranya (Moreno; Guedes; Knerr, 2012) :

  1. Faktor Individual

Faktor yang berasal dari kondisi internal dari pelaku kekerasan maupun korban kekerasan. Faktor individual yang berasal dari pelaku kekerasan dapat meliputi : usia yang terlalu muda, tingkat pendidikan yang rendah, mengalami/melihat kekerasan masa anak – anak, penggunaan alkohol dan obat – obatan, gangguan kepribadian, menyetujui perilaku kekerasan, dan memiliki pengalaman menganiaya pasangan. Sedangkan faktor individual yang menyebabkan korban kekerasan menerima perlakuan kekerasan yakni : rendahnya tingkat pendidikan, mengalami kekerasan oleh orangtuanya selama masa anak – anak, mengalami pelecehan seksual selama anak – anak, menerima perilaku kekerasan sebagai hal yang wajar untuk dilakukan, dan mengalami berbagai bentuk kekerasan lainnya.

  1. Faktor Relasi

Faktor – faktor terjadinya kekerasan yang diakibatkan karena situasi hubungan antara pelaku dan korban kekerasan, diantaranya : adanya konflik atau ketidakpuasan dalam hubungan, laki – laki memiliki peran yang lebih dominan, tekanan ekonomi, laki – laki memiliki pasangan lain, dan kesenjangan tingkat pendidikan misalnya perempuan memiliki pendidikan lebih tinggi dibanding pasangannya.

  1. Faktor Komunitas dan Sosial

Beberapa faktor yang bukan berasal dari internal pelaku maupun korban kekerasan, meliputi : norma sosial terkait dengan kesenjangan gender (misalkan gagasan yang menyatakan bahwa laki – laki adalah sosok yang harus menunjukkan peran lebih dominan dan agresif dibandingkan perempuan), faktor kemiskinan, status sosial dan status ekonomi perempuan yang lebih rendah, sanksi hukum yang lemah, kurangnya hak-hak sipil perempuan, aturan perceraian yang membatasi/tidak dapat dihindari, serta aturan undang-undang pernikahan yang melemahkan posisi perempuan, sanksi sosial yang lemah, penerimaan sosial bahwa kekerasan sebagai salah satu upaya menyelesaikan konflik, konflik bersenjata/konflik sosial, dan tingginya kekerasan umum yang terjadi di masyarakat kita.

 

 © Tatiana ZelenskayaBadan Pusat Statistik memberikan pandangan yang lebih luas terkait dengan  sebab terjadinya kekerasan khususnya yang terjadi pada perempuan. Melalui Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan pada tahun 2016, selain tiga faktor

yang telah diuraikan diatas, terdapat faktor ekonomi yang secara spesifik memberikan kontribusi sebab terjadinya kekerasan. Tingkat ekonomi yang rendah meningkatkan prevalensi perempuan  mengalami tindak kekerasan. Kekerasan karena faktor ekonomi dapat berupa memaksa pasangan untuk memenuhi segala kebutuhan diluar batas kemampuannya, sehingga dapat mengarah pada  eksploitasi ekonomi atau menguras harta pasangan (BPS, 2017).

Kekerasan tentunya menimbulkan dampak negatif pada aspek yang kompleks, tidak hanya menimbulkan luka fisik, kekerasan juga memberikan dampak secara psikologis, sosial, ekonomi, spiritual, dan kesejahteraan emosional bagi korban, pelaku, maupun lingkungan yang terlibat (Susmitha, 2016). Dampak kekerasan secara fisik adalah hal yang dapat teramati oleh mata, yakni timbulnya cedera, luka dan kecacatan pada tubuh, sedangkan dampak jangka panjang kekerasan pada fisik korban dapat berupa gangguan menstruasi dan kesuburan, sindroma iritasi usus, gangguan syaraf dan gangguan motorik.

Kekerasan memiliki dampak yang jauh lebih luas dan menetap pada aspek psikologis/kesehatan mental, khususnya pada korban kekerasan. Pada perempuan korban kekerasan, dampak psikologis ringan dapat ditunjukkan melalui perasaan tertekan (stress), perasaan takut/terancam, merasa terisolir secara sosial, menurunnya kepercayaan diri, dan perasaan tidak berdaya. Dampak psikologis pada tingkat yang lebih berat dapat ditunjukkan melalui gejala – gejala depresi, gangguan stress pasca trauma (PTSD), gangguan makan, gangguan keberfungsian diri sehari – hari, gagasan/percobaan bunuh diri, dan keluhan gangguan psikotik-halusinasi (Moreno;Rossler, 2013). Dampak serupa juga dialami pada anak – anak korban kekerasan, anak – anak berpotensi mengembangkan kepribadian antisosial, kepercayaan diri yang rendah, agresivitas dan menjadi pelaku kekerasan, depresi, gangguan stress pasca trauma (PTSD), dan kehilangan keyakinan akan pentingnya fungsi keluarga (Lucas & Grych, 2011).

 
 


Luasnya dampak yang ditimbulkan akibat perilaku kekerasan memerlukan penanganan serius oleh berbagai pihak. Perlu adanya sinergi antar individu, pemerintah, dan khususnya masyarakat dalam mewujudkan upaya perlindungan bagi perempuan dan anak. Masyarakat sebagai entitas terbesar dapat berperan menjadi garda terdepan sebagai pelopor dan pelapor perlindungan perempuan dan anak. Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur sebagai stakeholder dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan berperan aktif untuk mewujudkan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Salah satu upaya nyata DP3AK Provinsi Jawa Timur dalam penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui program konseling dan psikoterapi gratis bagi perempuan dan anak korban kekerasan di wilayah Jawa Timur. Untuk memanfaatkan program layanan ini dapat menghubungi hotline base counseling di nomor 0895348771070 pada hari Senin - Jumat pukul 08.00 - 15.00.

Referensi :

  1. Moreno,C.G;Guedes A;Bott S;Colombini M. 2016. Violence Against Women and Violence Againts Children - The Points of Intersection : Causes, Consequences, and Solutions. Global Health Action Journal.
  2. Moreno, C.G; Guedes A; Knerr W. 2012. Understanding and Addressing Violence Against Women. WHO Department of Reproductibe Health Website.
  3. Susmitha B. 2016. Domestic Violence : Causes, Impact, and Remedial Measures. SAGE Publications.
  4. Lucas R.L.D & Grych C.H. 2011. Children’s Perceptions of Intimate Partner Violence : Causes, Consequences, and Coping. Springer Journal.