Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia

  • Rabu, 29 April 2020 - 00:15:14 WIB
  • Administrator

Sejarah Peringatan

Peringatan khusus ini di latar belakangi oleh peristiwa Sharpeville di Afrika Selatan. Pada tanggal 21 Maret 1960, sebuah tragedi terjadi di Sharpeville dimana polisi Afrika Selatan menembak peserta aksi demonstrasi damai yang menentang hukum apartheid. Pengertian apartheid adalah salah satu jenis politik yang menggunakan sistem pemisahan dan pembedaan ras, agama, kepercayaan, dan pemisahan kelas sosial dimana kelompok mayoritas akan mendominasi kelompok minoritas. Politik ini menganggap kulit hitam itu orang hina dan perlu diasingkan. Politik ini termasuk pelanggaran HAM dan merupakan diskriminasi rasial yang dilakukan oleh bangsa barat.

Dalam peristiwa itu sebanyak 69 orang mati ditembak, termasuk delapan perempuan dan 10 anak-anak, sementara 180 orang lainnya luka-luka. Tahun 1966, Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian berhasil mengesahkan resolusi yang memproklamirkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Internasional Penghapusan Diskriminasi. Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya.

Tema Peringatan 

Pada tahun 2019 ini, tema yang dipilih dalam memperingati hari Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial adalah mitigasi dan melawan meningkatnya supremasi nasionalisme dan ideologi yang ekstrim. Adanya gerakan gerakan ekstrim berbasis ras dan ideology untuk tujuan populis dan nasionalis berkembang di seluruh dunia, menyuburkan  diskriminasi rasial dan kecurigaan serta intoleransi dengan menyasar  pada kelompok migran dan pengungsi dan masyarakat kelompok berwarna,  khususnya mereka yang memiliki keturunan Afrika.

Baru-baru ini terjadi kasus penembakan massal di dua masjid di kota Christchurch, Selandia Baru, terjadi pada Jumat siang, 15 Maret 2019 saat umat Islam selesai melaksanakan solat Jumat. Jumlah korban tewas telah bertambah dari 40 orang menjadi 49 orang. Mereka yang menjadi korban tewas mungkin adalah imigran atau pengungsi yang berlindung dan memilih Selandia Baru sebagai rumah mereka.

Kasus itu merupakan termasuk tindakan diskriminasi rasial. Tersangka yang tertangkap diketahui  tergabung dalam kelompok ekstrimis sayap kanan. Salah satu teroris diidentifikasi sebagai pria kelahiran Australia yang menulis telah merencanakan aksi itu hingga dua tahun. Dokumen setebal lebih dari 70 halaman yang dikutip oleh media Australia dipenuhi dengan referensi `white power`, menyebut imigran sebagai " penjajah asing" , dan menggambarkan serangan itu sebagai upaya untuk " menciptakan suasana ketakutan" .

Komunitas muslim di sana sudah pernah mengadu kepada pemerintah soal kekhawatiran tentang meningkatnya aksi kekerasan dan rasisme selama lima tahun belakangan. Seperti dilansir Associated Press, Kamis (21/3), seorang komisioner hubungan antar-ras Selandia Baru, Susan Devoy, menyatakan umat Islam di negara itu memang menghadapi kejahatan kebencian, pelecehan, dan ekstremisme selama bertahun-tahun. 

Contoh kasus tersebut menunjukan masih terdapat kasus rasis dan intoleransi masih berkembang. Perlu ada tindakan tegas dari Polisi dan aparat berwenang guna menindak kaum intoleran, dengan dukungan konstitusional. Sebab, persoalan intoleransi bukanlah sekadar sentimen sosial, melainkan persoalan elit dengan motif politik di belakangnya.

Nilai Kemajemukan bagi Indonesia

Di Indonesia, peringatan itu mungkin kurang begitu digalakkan. Namun secara relevansi, tentu saja amat berkaitan. Sebagai negara mega cultural diversity,  Indonesia memiliki 250 kelompok etnis dengan 500 jenis bahasa daerah.  Bermacam-macam agama dan kepercayaan pun berkembang tanpa batasan di  sini. Namun sayang, perlakuan  diskriminatif masih saja terjadi. Agama menjadi isu yang paling kerap  ‘digoreng’ hingga berujung pertikaian. Bahkan momentum Pemilihan  Presiden 2019 sekalipun, tak sungkan dikait-kaitkan dengan agama. Inilah  pentingnya penanaman nilai toleransi dan dialog di atas perbedaan sejak  dini. Walau bagaimanapun, Indonesia akan selalu tumbuh majemuk. Tidak  bisa disamakan dengan negara yang menerapkan satu hukum agama saja.

Sebagai bangsa yang majemuk, peringatan hari ini tidak hanya relevan, namun sifatnya sangat krusial. Indonesia dikenal sebagai mega cultural diversity. Setidaknya terdapat 250 kelompok etnis dengan lebih dari 500 jenis  bahasa daerah di Indonesia. Bermacam-macam agama dan kepercayaan juga  berkembang di negara ini.Setelah  periode reformasi, banyak kalangan meramalkan dengan tingginya tingkat  keberagaman yang dimiliki Indonesia, negara ini pada akhirnya akan  menjadi negara gagal (failed state), apalagi dengan lepasnya wilayah Timor-Timur serta pergolakan di Aceh dan Papua.

Fund For Peace (FfP), sebuah lembaga penelitian independen internasional berusaha  memberikan analisa yang lebih mendalam atas penilaian ini. Menurut FfP,  terdapat dua belas indikator yang menentukan apakah suatu negara dapat dinilai sebagai failed state atau tidak. Berdasarkan berbagai indikator tersebut, FfP bekerja sama  dengan majalah Foreign Policy tiap tahunnya menghasilkan laporan Failed  State Index (FSI) yang seringkali digunakan sebagai rujukan publik untuk  menganalisa kondisi kerentanan suatu negara. 

Berdasarkan  laporan FSI terakhir (2017), Sudan Selatan menempati ranking pertama,  disusul oleh Somalia dan Republik Afrika Tengah. Bagaimana posisi Indonesia. Indonesia sendiri berada di ranking 94 dari 178 negara dengan total skor 72.9.  Posisi tersebut sesungguhnya naik dari ranking sebelumnya di tahun 2016  dimana Indonesia berada pada ranking 86 dengan total skor 74.9. Apalagi  jika dibandingkan dengan posisi sepuluh tahun lalu yang menunjukkan  Indonesia berada di ranking 55.

Meskipun  bagi banyak negara, Indonesia dinilai dapat mencegah kemajemukan  menjadi suatu ancaman kebangsaan, penanaman nilai toleransi dan  pentingnya dialog di atas perbedaan tetap perlu dilakukan sejak dini dan  dilakukan sehari-hari. Terlebih lagi menjelang Pemilihan Presiden 2019, keberagaman ini hampir pasti akan menjadi isu yang dipolitisasi yang  dapat menghasilkan perpecahan bangsa. Semuanya tergantung dari kita  semua, apakah kita bisa memaknai kemajemukan yang kita miliki sebagai  suatu berkah, atau sebagai suatu musibah.