Stop Perkawinan Anak! Kesehatan Fisik dan Mental, hingga Nyawa Anak jadi Taruhannya

  • Senin, 29 Maret 2021 - 12:11:57 WIB
  • Administrator

Stop Perkawinan Anak!

Kesehatan Fisik dan Mental, hingga Nyawa Anak jadi Taruhannya

Oleh: Aghnis Fauziah, S. Psi., M. Psi., Psikolog

 

Beberapa waktu lalu, nama Wedding Organizer Aisha Wedding mencuat dan ramai diperbincangkan di media sosial. WO Aisha Wedding menuai kontroversi karena materi promosinya yang mengampanyekan menikah di usia 12-21 tahun. Kasus ini seakan menjadi alarm bahwa perkawinan anak masih menjadi masalah darurat di Indonesia.

 

Perkawinan Anak di Indonesia

Perkawinan anak adalah perkawinan formal maupun informal yang dilakukan oleh seseorang sebelum 18 tahun1. Laporan hasil penelitian mengenai perkawinan anak yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) dengan UNICEF, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang diterbitkan tahun 2020 menyebutkan bahwa berdasarkan populasi, Indonesia menempati peringkat ke-10 perkawinan anak tertinggi di dunia.

Berdasarkan data dari BPS, sebanyak 1.220.900 anak di Indonesia mengalami pernikahan dini. Laporan itu mengungkapkan bahwa 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun. Sebagai tambahan, berdasarkan data dari BPS tahun 2020 tentang proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun pada tahun 2019 adalah 10,82 % secara nasional, dan persentase Jawa Timur sedikit lebih tinggi di atas data nasional, yaitu 11,1 %. Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran adalah dalam 10 tahun terakhir, tingkat perkawinan anak di Indonesia hanya mengalami sedikit penurunan yaitu 3,5 %.

Selain itu, selama pandemi ini tercatat terdapat kenaikan 300% angka perkawinan anak. Artinya, saat ini perkawinan anak menjadi salah satu masalah darurat yang harus mendapatkan perhatian dari seluruh pihak.

 

Faktor Pendorong Perkawinan Anak

Banyak hal yang membuat anak akhirnya menikah sebelum usia 18 tahun. Di Indonesia sendiri, faktor yang ditengarai berkontribusi dalam perkawinan anak antara lain kehamilan yang tidak diinginkan, hubungan seks pranikah, pengaruh teman sebaya, teknologi, peran orangtua, tingkat pendidikan, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksual, kemiskinan, paparan media, konflik sosial, bencana, pandemi, budaya, interpretasi agama yang parsial, etnis dan faktor geografis lainnya.2,3

 

Dampak Perkawinan Anak

Perkawinan anak memberikan dampak buruk yang luas, tidak hanya bagi anak yang menikah itu sendiri, tetapi juga berdampak pada generasi berikutnya. Risiko perkawinan anak antara lain:

 

  1. Pendidikan

Perkawinan anak secara universal dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Remaja perempuan yang menikah berisiko lebih besar untuk putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan sekolah4. Hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan masa depan yang lebih baik dirampas karena perkawinan anak.

Sumber: unicef.org

  1. Kemiskinan

Keluarga dengan tingkat perekonomian yang rendah seringkali melihat perkawinan anak sebagai hal yang menguntungkan secara ekonomi dalam jangka pendek. Tetapi realitanya, hal tersebut tidak meningkatkan status ekonomi rumah tangga dalam jangka panjang karena tidak memberikan keamanan finansial untuk masa depan. Perkawinan anak memiliki potensi negatif secara ekonomi karena remaja perempuan yang menikah seringkali memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta tidak bekerja. Dari perspektif ini, perkawinan anak di Indonesia cenderung mempertahankan atau memperburuk kemiskinan, bukan mengentaskannya.

 

  1. Kesehatan remaja perempuan

Perkawinan anak akan membuat perempuan berhubungan seksual di masa remaja (<18 tahun). Padahal, hubungan seksual pertama kali di usia remaja (<18 tahun) pada perempuan membuat mereka 3 kali lebih berisiko menderita kanker serviks. Karena pada remaja perempuan, sel serviknya masih belum matang dan lebih sensitif, sehingga rentan berubah menjadi kondisi abnormal 5. Remaja perempuan (<18 tahun) yang berhubungan seksual rentan terhadap infeksi HPV. Hubungan seksual yang dimulai sebelum 18 tahun merupakan faktor risiko kanker serviks yang sangat kuat. Infeksi HPV sering terjadi segera setelah pertama kali hubungan seksual. Sehingga hubungan seksual yang dilakukan pada usia dini ditengarai merupakan paparan awal dari HPV. Infeksi HPV menyebabkan sel kanker tumbuh pada sel-sel di leher rahim yang disebut kanker serviks.6

Selain itu, kehamilan remaja yang berusia di bawah 18 tahun sangat rentan terhadap anemia dan risiko medis, seperti preeklamsia, perdarahan, dan transfusi darah. Bukti global menunjukkan, perkawinan anak membuat perempuan berisiko lebih tinggi mengalami kematian ibu. Penelitian menunjukkan bahwa komplikasi saat melahirkan dan kehamilan adalah salah satu penyebab utama kematian di kalangan remaja perempuan. Tingkat kematian perempuan yang menikah pada usia 15-19 tahun dua kali lipat lebih besar dibandingkan perempuan yang menikah setelah usia 20 tahun. Hal ini disebabkan karena tubuh mereka yang belum matang mempengaruhi kesehatan mereka saat melahirkan seorang anak. Penyebab utama kematian remaja berusia 15–19 tahun adalah kematian ibu yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan, yang menyebabkan 70.000 kematian per tahun di seluruh dunia7.

 

  1. Kesehatan bayi yang dilahirkan

Perkawinan anak secara signifikan berisiko terhadap kesehatan remaja serta anak yang dilahirkannya. Kemungkinan kematian bayi yang dilahirkan oleh remaja perempuan yang berusia di bawah 18 tahun 60 % lebih tinggi dibandingkan bayi yang dilahirkan oleh ibu yang berusia di atas 19 tahun7. Bahkan jika bayi bertahan hidup, terdapat kemungkinan bayi tersebut lahir secara prematur, memiliki berat badan lahir rendah atau lebih lemah secara fisiologis maupun psikologis dari pada anak normal lainnya7. Kondisi fisik yang belum matang dari ibu yang berusia remaja membentuk risiko 2-3 kali lebih tinggi pada bayi yang dilahirkan untuk  memiliki berat lahir rendah dan hambatan pertumbuhan janin, prematuritas, dan kesehatan bayi baru lahir yang buruk.

 

  1. Stunting

Kebutuhan gizi anak dimulai sejak 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) atau saat kehamilan hingga usia 2 tahun. Kehamilan remaja dapat menyebabkan bayi lahir dengan risiko stunting lebih tinggi karena umumnya remaja belum memperoleh edukasi secara menyeluruh mengenai kehamilan dan perawatan gizi bayi.

Pada saat hamil, remaja yang tidak mengetahui pentingnya gizi yang harus dikonsumsi oleh ibu hamil bisa membuat remaja tersebut terkena anemia dan berpengaruh pada janin yang dikandungnya. Ibu yang anemia akan berisiko melahirkan anak yang stunting karena bayi yang lahir juga akan kekurangan zat besi karena bayi tersebut tidak diwarisi zat besi dari sang ibu.

Selain itu, terdapat hubungan antara kehamilan tidak diinginkan dan gizi buruk pada anak. Remaja yang menikah karena kehamilan yang tidak diinginkan membuat mereka mengabaikan anak secara sadar ataupun tidak sadar. Hal ini mengurangi kemampuan ibu untuk memenuhi kebutuhan anak sehari-hari dan mengurangi kualitas perilaku pengasuhannya, sehingga menuju pada konsekuensi kesehatan yang negatif bagi anak8. Kehamilan yang tidak diinginkan mempengaruhi perilaku ibu selama kehamilan hingga saat membesarkan anak. Risiko stunting anak usia dini dari kehamilan yang tidak diinginkan 2 kali lebih besar dari anak-anak yang lahir dari kehamilan diinginkan.

 

  1. KDRT dan Kesehatan Mental

Sumber: shutterstock.com

 

Pernikahan adalah langkah menuju kemandirian yang membawa banyak tanggung jawab, pengambilan keputusan, dan komitmen yang serius. Anak berusia di bawah 18 tahun akan kesulitan untuk mengatasinya karena pernikahan membutuhkan tingkat kedewasaan dan rasa tanggung jawab yang besar. Usia remaja, di mana anak lain masih berkumpul dan bermain dengan teman sebaya, mengenyam pendidikan, dan belajar keterampilan-keterampilan baru untuk kehidupan, namun remaja yang menikah harus memikul tanggung jawab besar melayani suami, melakukan tugas domestik, dan mengasuh anak-anak yang mereka lahirkan. Padahal, mereka tidak memiliki pengetahuan atau ilmu yang mumpuni untuk menjadi seorang istri dan ibu, dan bahkan juga tidak memiliki informasi yang memadai tentang hubungan seksual dan persalinan.

Besarnya tanggung jawab yang dipikul, yang tidak sesuai dengan perkembangan remaja membuat mereka stres dan tertekan sehingga lebih rentan mengalami berbagai masalah terkait kehidupan perkawinan. Stres dan tekanan yang dialami remaja perempuan ini dapat menyebabkan gangguan psikologis maupun fisiologis. Masalah yang dialami dapat membuat remaja depresi, berujung pada perceraian, atau bunuh diri.

Remaja perempuan yang secara fisik belum cukup matang untuk melakukan hubungan seksual membuat hubungan seksual dengan suami dapat menjadi pengalaman traumatis. Hubungan seksual seperti itu, seringkali tidak dibangun atas dasar persetujuan kedua belah pihak, sehingga menjadi hubungan seksual yang dipaksakan. Penelitian menegaskan bahwa perempuan yang memiliki trauma seksual berisiko tinggi menderita PTSD (Post Traumatic Syndrome Disorder), depresi, dan gejala komorbid PTSD dengan gangguan kecemasan sosial.

Selain kekerasan seksual, remaja perempuan yang menikah dini lebih berisiko mengalami kekerasan secara fisik dan psikologis dari suami atau mertuanya. Hal ini karena mereka cenderung memiliki suami yang lebih tua, sehingga suami dan mertua cenderung memiliki kendali yang lebih besar atas diri remaja. Beberapa remaja perempuan yang menikah memiliki pasangan yang jauh lebih tua dan lebih berpendidikan dari mereka, sehingga mereka tidak memiliki intelektualitas yang sama seperti yang dimiliki suami mereka. Hal ini menyebabkan mereka tidak mampu untuk memenuhi tuntutan suami, bahkan terhadap hal-hal yang kecil. Remaja ini kemudian dipandang rendah oleh suaminya, direndahkan, dan tak jarang dipukuli9.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkatkan masalah kesehatan mental perempuan, seperti depresi atau bahkan bunuh diri, dan memperburuk gangguan somatik, serta membentuk risiko gangguan kesehatan, seperti kardiovaskular tinggi dan reaktivitas stres. KDRT juga mempengaruhi kesehatan reproduksi. Perempuan yang terpapar kekerasan memiliki 16% kemungkinan lebih besar untuk memiliki bayi dengan berat lahir rendah, dan dua kali cenderung melakukan aborsi, dibandingkan dengan perempuan yang tidak pernah mengalami kekerasan dari pasangan.

Selain itu, terdapat penelitian yang menemukan bahwa remaja yang hamil, berhubungan dengan kondisi depresi yang tinggi pada saat kehamilan dan setelah persalinan, mencapai 40-50% dengan gejala yang sedang hingga berat. Penelitian tersebut dilakukan di Afrika-Amerika dan negara-negara Eropa dengan hasil konsisten. Depresi terbukti berlanjut dari tahun-tahun awal pengasuhan, dan follow up selama 17 tahun menemukan kenaikan tingkat depresi pada perempuan yang hamil pada saat remaja, khususnya yang mendapatkan kekerasan dari pasangan.

Mengenai perkawinan anak, usia perkawinan yang sangat dini, seringkali segera setelah menarche, juga menyebabkan masalah kesehatan mental tertinggi10. Terdapat bukti bunuh diri dan melukai diri sendiri pada remaja yang menikah di seluruh dunia.

Berdasarkan paparan tersebut, remaja perempuan yang menikah sangat berisiko mengalami kekerasan seksual, fisik, dan psikologis, yang umumnya didefinisikan sebagai kekerasan terkait gender.

 

  1. Pola asuh yang buruk pada anak

Remaja belum memiliki kematangan dalam berpikir dan mengambil keputusan, sehingga mengemban tugas menjadi orangtua adalah sesuatu yang berat. Penyesuaian menjadi orangtua berkaitan dengan persiapan dan pengetahuan mengenai bagaimana merawat anak sejak hamil, melahirkan, hingga membesarkannya. Hal ini merupakan hal yang berat untuk dilakukan oleh remaja, sehingga banyak ibu yang berusia remaja merasa tertekan dan memiliki kesehatan mental yang buruk, seperti mengalami depresi 11.

Remaja yang depresi dapat membuat mereka kurang efektif dalam menjalankan pengasuhan pada anaknya, mengabaikan anaknya, hingga melakukan kekerasan pada anak. Pengasuhan dari ibu yang berusia remaja ini banyak menggunakan disiplin dengan kekerasan dan pengabaian. Banyak ibu yang berusia remaja menarik diri secara fisik dan emosional terhadap bayinya, sehingga mereka tidak mampu membentuk kelekatan yang aman pada anak. Anak-anak ini kemudian sering diabaikan secara fisik, emosional, keamanan, kesehatan, hingga pendidikannya. Pengasuhan ibu usia remaja ini akan menjadi lebih buruk saat mereka menjadi korban kekerasan dari suami, memiliki masalah ekonomi, dan menderita depresi. Anak-anak yang diasuh kemudian bisa memiliki gangguan perilaku dan membuat mereka menjadi sangat berisiko mengalami kekerasan11.

 

Perkawinan Anak merupakan Bentuk Kekerasan Pada Anak

Perkawinan anak membawa banyak risiko dan dampak buruk bagi anak hingga generasi berikutnya. Perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan pada anak karena merampas hak-hak anak sehingga membuat mereka:

  1. Kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan
  2. Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kecakapan kejuruan dan kecakapan/keterampilan hidup
  3. Memaparkan anak pada risiko kesehatan hingga kematian
  4. Menjadi ibu sebelum mereka siap secara fisik dan psikologis
  5. Meningkatkan risiko mendapatkan kekerasan seksual, fisik, dan psikologis dari pasangan mereka

 

Faktor Protektif Perkawinan Anak

Pendidikan merupakan faktor pelindung yang kuat terhadap perkawinan anak dan terhadap pilihan dan sikap terhadap perkawinan anak di Indonesia. Artinya, kebijakan yang mendorong anak perempuan menyelesaikan SMA/sederajat hingga pendidikan yang lebih tinggi dapat membantu menurunkan jumlah perkawinan anak. Kebijakan pemerintah dan lembaga lain yang bertujuan untuk mendidik keluarga dan masyarakat, meningkatkan kesadaran yang melibatkan orang tua dan memberdayakan anak perempuan melalui pendidikan dan keterampilan dapat membantu menghentikan perkawinan anak8. Selain itu, pendidikan tidak hanya efektif dalam menunda perkawinan, kehamilan, dan melahirkan, tetapi juga dapat meningkatkan pengetahuan tentang masalah kesehatan reproduksi, sehingga efektif dalam mengubah perilaku remaja yang mengarah pada perilaku seksual berisiko dalam perkawinan.

Pencegahan perkawinan anak di Indonesia membutuhkan peran serta dari seluruh elemen masyarakat. Baik orangtua, institusi pendidikan, tokoh agama, dunia usaha, masyarakat, media, maupun pemerintah harus saling bahu-membahu dan bergotong-royong menghapus perkawinan anak demi melindungi anak dan mewujudkan generasi emas di Indonesia.

 

Referensi:

  1. UNICEF. (2014). Ending Child Marriage: Progress and Prospects. UNICEF.
  2. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2020) Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak
  3. Windiarti, S. dan Besral (2018) Determinants of Early Marriage In Indonesia: A Systematic Review. Proceeding of International Conference on Applied Science and Health, no: 3
  4. Brown, G. (2012) Out of wedlock, into school: combating child marriage through education. London: Overseas Development
  5. Lubis R, Siregar F, Sanusi S. (2017) Pengaruh usia pertama kali melakukan hubungan seksual, paritas, bergantiganti pasangan seksual, merokok terhadap kejadian Kanker Serviks di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran, dan Ilmu Kesehatan.;1(2):145–52.
  6. Plummer, M, Peto, J & Franceschi, S. (2012) Time since first sexual intercourse and the risk of cervical cancer. International Journal of Cancer. 120(11):2638–44
  7. UNICEF (2009) State of the World’s Children
  8. Rahman, M.M, (2015). Is Unwanted Birth Associated with Child Malnutrition in Bangladesh? International Perspectives on Sexual and Reproductive Health 41(2): 80–88
  9. UNICEF. (2005). Early marriage: A harmful traditional practice. A Statistical Exploration. UNICEF, New York, 32.
  10. UNPF (2013) State of world population 2013.Motherhood in childhood. Facing the challenge in adolescence pregnancy. United Nations Population Fund, New York
  11. Rahayu, K.S dan Basoeki, L. (2018) Pengasuhan anak pada ibu usia remaja. Jurnal Psikiatri Surabaya. Vol 7. No 2